Bush dilempar sepatu di Irak...Sudah negara kapitalisnya mulai hancur,dilempar sepatu lagi...

REFLEKSI AKSI MAHASISWA 2008














Read More......

PENGUMUMAN


Wahai Kaum Muslimin...
Wahai para mahasiswa muslim...
Islam telah memanggil Anda untuk berjuang demi tegaknya syari'ah Islam
Jadilah anda menjadi Pejuang Islam yang handal
Bergabunglah dalam Training Pembebasan 1 untuk mewujudkannya
Marilah kita bersatu, bergerak, untuk menegakkan Idiologi Islam
Bergabunglah dengan GEMA PEMBEBASAN BATAM
Supaya anda bisa berjuang untuk Idiologi ini
Allahu Akbar...!!!

Ahad, 23 November 2008
Pukul 08.30 s.d. 16.30 WIB
Di Masjid Baitul Iman, Marina

Informasi dan pendaftaran, silahkan hubungi:
Raja Mardi (Mahasiswa Poltek Batam tingkat 1 Jurusan Elektronika D3)
HP 085668304645

Read More......

Ironi Mencari Jati Diri Perempuan


Unbreakable…demikanlah tema iklan salah satu produk shampoo terkenal di Indonesia saat ini. Semangat yang hendak ditorehkan bagi perempuan Indonesia yang tidak mudah lemah, tidak mudah patah semangat, dan tidak mudah kalah dalam kehidupan. Sebuah pesan sederhana, menyentuh, yang dilukiskan oleh seorang penyanyi terkenal dan kebetulan memiliki citra dari produk yang diluncurkan sebagai strategi bisnisnya. Disisi lain, pesan yang disampaikan lewat iklan produk shampoo yang dicitrakan buat kaum hawa, dengan model perempuan cantik berambut lurus nan anggun ini mengajak audiencenya bersikap terhadap sebuah paradigma tentang perempuan itu sendiri. Sejauhmana paradigma tentang perempuan saat ini?


Sudah menjadi hal yang umum bahwa setiap perempuan ingin tampil cantik dan menarik. Perempuan selalu diidentikkan dengan keindahan. Pandangan sebagaian masyarakat saat ini bahwasanya keindahan dan kecantikan seolah-olah yang hanya dapat membahagiakan dan berikutnya menjadi tujuan seorang perempuan hidup. Tak ayal lagi, pandangan tentang mitos kecantikan menjadi hal yang diburu oleh kaum perempuan dan hal yang dieksploitir oleh para kapitalis. Maka berlomba-lombalah para pencari keuntungan menangguk pemasukan dengan strategi pemasarannya. Hanya saja sebuah pesan yang disampaikan lewat media massa saat ini, tidak saja sekedar menyampaikan sebuah informasi tentang suatu produk yang akan ditawarkan, tetapi sisipan hiburan atau entertainment dalam penyampaian pesan tersebut justru lebih menonjol dibanding infromasi yang diinginkan. Hampir semua tayangan iklan di media massa kita dibumbui dengan citra perempuan. Hal yang sangat jauh dan bisa jadi tidak berhubungan dengan perempuan seolah dipaksakan identik dengan perempuan hanya untuk menarik perhatian khalayak. Tentunya yang menjadi ukuran dapat menarik perhatian khalayak adalah perempuan karena perempuan diidentikkan dengan kecantikan dan keindahan tersebut.

Persoalan menjadi rumit manakala sejumlah pendapat yang mengasumsikan perempuan saat ini mempunyai posisi yang tidak boleh dimarjinalkan, tidak boleh berada di ketiak kaum partiriarki atau diinjak oleh produk budaya maupun agama yang secara sengaja melumatkan harga kesetaraan yang diinginkan dalam pencapaian status sosial di masyarakat, dan sejumlah pendapat ini mengasumsikan bahwa nilai agama berhasil mengukuhkan posisi kaum patriarki l membabat daya kreativitas perempuan dalam persaingan hidup. Karenanya sejumlah pendapat ini bergeliat mencari status untuk kemudian mendapatkan status setara dalam berbagai bidang kehidupan.

Pergulatan mencapai status tersebut hampir dipastikan berkembang seiring dengan pergeseran ideologi yang mewarnai kehidupan umat manusia saat ini. Sudah menjadi rahasia umum jika kehidupan kapitalis nan sekularistik saat ini mendorong umat manusia berpikir tentang pengaturan hidup ada ditangan manusia. Ukuran kebahagiaan ada pada ukuran manusia, diantaranya ukuran tentang kesetaraan itu sendiri. Sejumlah pendapat yang mengatakan jika posisi kaum perempuan saat ini berada di marjinal sosial, maka penghalang-penghalang ukuran setara yang ada harus disingkirkan sekalipun itu bernuansa agama.

Pergerakan mencapai status ini menjadi final manakala diakomodir oleh sistem kapitalis-sekuler. Paradoks perjuangan mencapai kesetaraan lewat berbagai bidang kehidupan. Sementara hampir dalam setiap upaya tersebut justru mengeksploitir perempuan. Mulai dari tayangan yang eksplotiasi sensualitas dan kebertubuhan perempuan sampai legalitas undang-undang atas dasar azasi “prochoice” yang justru tidak melindungi perempuan.

Solusi

Ada sebuah pepatah mengatakan ”Tak kenal maka tak sayang”. Tidak mengenal hakikat kedudukan perempuan maka bisa dipastikan tidak ada rasa sayang kita, rasa peduli kita pada kaum perempuan. Ukuran untuk menilai hakikat kedudukan perempuan itu harusla bukan berasal dari manusia, sebab jika ukuran itu diserahkan pada manusia maka berpotensi untuk salah, serba lemah, dan dipengaruhi oleh lingkungan dia hidup. Mengukur kedudukan perempuan haruslah diletakkan pada yang membuat adanya kaum perempuan itu sendiri, dalam hal ini tentu Sang Khalik melalui produk hukum yang sudah dilegalkan dalam mengatur kehidupan umat manusia, yaitu sejumlah aturan agama. Islam mengajarkan kedudukan perempuan adalah sebagai ibu/anak dalam rumah tangganya (Al Umm/ Al Bintu wa rabbatul bait) dan bukan yang lain. Pada kedudukan tersebut tidaklah dikatakan perempuan hanya ada pada sektor domestik, karena dari latar belakang kesadaran kedudukan perempuan ini ketaatan yang muncul bukan bermakna keterjajahan kaum perempuan dari dominasi kaum patriarki. Munculnya keterjajahan atas kaum perempuan adalah karena ideologi kapitalis-sekuler yang merangsek keseluruh dunia dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan hingga tatanan kehidupan sebuah keluarga. Akibat sistem kapitalis, kondisi perekonomian yang timpang saat ini mendorong secara massiv kaum perempuan untuk terjun di sektor publik. Walhasil dalam ranah publik ini perempuan dipaksa bersaing dengan kaum patriarki, muncullah berbagai persoalan kemudian. Pelecehan seksual, Traficcking, prostitusi, upah rendah dan sebagainya. Akibat kehidupan sekuler, atas nama kebebasan kebertubuhan perempuan eksploitasi dan eksplorasi menjadi hal yang wajar demi mencapai nilai kebahagiaan yang notabene bersifat materi belaka. Tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi diperjuangkan untuk dilegalkan. Ironi sebuah pergulatan pencarian kesetaraan.

Menjadi wajar jika saat ini orang mulai melirik dan berpikir untuk mengatasi sengkarut posisi kaum perempuan dikembalikan pada nilai agama, nilai syariah dan berpikir jernih untuk membuang sistem aturan kehidupan kapitalis-sekuler dalam keranjang sampah. Beramai-ramai para pencari kesetaraan saat ini untuk kembali pada solusi agama sebagai penangkal solusi absurd tentang kesetaraan yang sudah ditinggalkan oleh para penggagasnya dua dasawarsa yang lalu. Menjadi ironi ide yang justru baru diusung oleh para penggagas kesetaraan jender di negeri ini.

Read More......

Menjadi Wanita Sholihah


Gerakan feminisme telah menimbulkan pembangkangan wanita bukan hanya kepada suaminya tapi kepada hukum-hukum Allah SWT. Atas nama kebebasan (liberal) para wanita didorong untuk membebaskan dirinya dari syariah Islam. Alih-alih gerakan jender membuat wanita lebih baik, yang terjadi malah ekploitasi wanita semakin menjadi-jadi. Dalam Islam wanita sholihah jelas yang tunduk kepada aturan Allah SWT. Wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia. ‘Abdullah ibn ‘Amr r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda :

«الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرً مَتَاعِهاَ اْلمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

Dunia itu perhiasan; sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah. (HR Muslim).


Anas r.a. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«مَنْ رَزَقَهُ اللهُ اِمْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ فَلْيَتَقِ اللهَ فِيْ الشَّطِرِ الثَّانِي»

Siapa saja yang telah dikaruniai Allah wanita shalihah berarti Dia telah menolongnya dalam satu bagian agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam bagian yang kedua. (HR al-Hakim).

Karakter wanita shalihah kurang lebih sebagai berikut:

Pertama, menaati Allah dan suaminya. Allah Swt. berfirman:

]الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ
بِمَا حَفِظَ اللهُ[

Laki-laki adalah pemimpin wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagain harta mereka. Oleh karena itu, wanita yang shalihah adalah yang menaati Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara mereka” (QS an-Nisa’ [4]: 3).

Sementara itu, istri Sa‘id bin al-Musayyab pernah berkata, “Tidaklah kami berbicara kepada suami kami kecuali seperti kalian berbicara kepada para pemimpin kalian, ‘Aemoga Allah memeliharamu (suamiku) dan semoga Allah memaafkahmu.” (HR Abu Nu‘aim).

Abu Hurairah juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«لَوْ كُنْتُ آمِرًا اَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْاَةَ اَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا»

Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, aku pasti akan memerintahkan kepada wanita untuk bersujud kepada suaminya. (HR at-Turmudzi).

Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim dan

Ibn Hibban. Dalam riwayat Ibn Hibban ditambahkan kalimat:

«وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِي حَقَّ زّوْجِهَا»

Demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, seorang wanita dipandang belum menunaikan hak Tuhannya sebelum ia menunaikan hak suaminya. (HR Ibn Hibban).

Abu Umamah juga menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا اَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَتْهُ وَ إِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَ مَالِهِ»

Tidak ada sesuatu yang lebih memberikan manfaat kebaikan bagi seorang Mukmin setelah ketakwaannya kepada Allah daripada seorang istri shalihah; jika ia memerintahnya, ia menaatinya; jika ia memandangnya, ia menyenangkannya; jika ia menggilirnya, ia memuaskannya; dan jika ia meninggalkankannnya, ia akan memelihara dirinya dan harta suaminya. (HR Ibn Majah).

Sementara itu, Asma’ bin Kharijah al-Fazari pernah mengantarkan anak perempuannya kepada suaminya. Ia berkata:

Putriku, jadilah engkau di hadapan suamimu layaknya seorang budak sehingga ia menjadi ‘budak’-mu. Janganlah engkau terlalu merendahkan dirimu sehingga ia menguasaimu. Akan tetapi, jangan pula engkau terlalu menjauhinya sehingga engkau membebaninya. (HR al-Bayhaqi).

Ketika seorang Muslimah meninggal dunia, sementara suaminya meridhainya, ia pasti akan dimasukkan ke dalam surga. Dalam hal ini, Ummu Salamah menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«أَيُّمَا إِمْرَأَةٍ مَاتَتْ وَ زَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتْ الْجَنَّةَ»

Wanita mana saja yang meninggal, sementara suaminya meridhainya, ia pasti masuk surga. (HR at-Tirmidzi).

Kedua, berhias untuk suaminya. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda (yang artinya), “Jika suaminya memandangnya, ia menyenangkannya.” (HR Ibn Majah).

Rasulullah saw. juga pernah bersabda, sebagaimana dituturkan Sa‘ad, demikian:

«فَمِنَ السَّعَادَةِ الْمَرْأَةُ تَرَاهَا تُعْجِبُكَ وَتُغِيْبُهَا فَتَأْمَنُهَا عَلَى نَفْسِهَا وَ مَالِكَ»

Di antara kehagiaan itu ialah istri yang jika engkau pandang, ia membuatmu takjub, dan jika engkau meninggalkannya, ia akan memelihara dirinya dan hartamu. (HR al-Hakim).

Abu Hurairah r.a. juga pernah menuturkan bahwa Nabi saw. pernah ditanya, “Wanita manakah yang paling baik?” Beliau menjawab:

«الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ»

Yaitu wanita yang menyenangkan suaminya jika suaminya memandangnya, yang menaati suaminya memerintahnya, dan yang tidak bermaksiat kepada suaminya menyangkut dirinya dan harta suaminya. (HR al-Hakim).

Ketiga, memelihara rumah, diri, dan harta suaminya. Hukum asal seorang wanita adalah sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt (sebagai ibu dan pengatur rumah tangga). Hal ini didasarkan pada hadis dari Ibn ‘Umar. Disebutkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا»

Setiap diri kalian adalah pemimpin; masing-masing kalian akan dimintai bertanggung jawab atas yang diimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin; ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin keluarganya; ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang wanita (istri) adalah pemimpin (pengurus) rumah suaminya dan anak-anaknya; ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Abu Hurairah r.a. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإِْبِلَ نِسَاءِ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ»

Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah wanita Quraisy; ia sangat menyayangi anaknya ketika kecil dan sangat memperhatikan suaminya ketika ada di sisinya. (HR Muslim).

Keempat, membantu suaminya dalam urusan akhirat. Rasulullah saw. bersabda:

«لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِينُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ»

Hendaknya salah seorang di antara kalian mempunyai kalbu yang bersyukur, lisan yang senantiasa berzikir, dan istri yang beriman yang dapat membantumu dalam urusan akhirat. (HR Ibn Majah).

‘Abdurrahman ibn Abza juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata (yang artinya, “Seorang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah seperti mahkota yang bertahtakan emas di atas kepala seorang raja. Sebaliknya, seorang wanita yang buruk bagi seorang laki-laki adalah seperti beban yang berat di pundak seorang laki-laki tua.” (HR Ibn Abu Syaibah).

Kelima, memiliki bekal agama yang baik. Ibn Majah meriwayatkan dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ia berkata : Rasulullah saw. bersabda :

«لاَ تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ وَلاَ تَزَوَّجُوهُنَّ لأَِمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَلَكِنْ تَزَوَّجُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ وَلأَمَةٌ خَرْمَاءُ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ»

Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya karena kecantikannya itu akan menjadikannya berlebihan; jangan pula kalian menikahi wanita karena hartanya karena hartanya itu akan membuatnya membangkang. Nikahilah wanita atas dasar agamanya. Sesungguhnya seorang hamba sahaya perempuan yang hitam legam yang memiliki kebaikan agama adalah lebih utama. (HR Ibn Majah).

Abu Adzinah ash-Shudfi menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«خَيْرُ نِسَائِكُمْ اْلوَدُوْدُ اْلوَلُوْدُ اْلمُوَاتِيَةُ اْلمُوَاسِيَةُ إِذَا اتَّقَيَنَّ اللهَ»

Sebaik-baik istri kalian adalah yang penyayang, banyak anak (subur), suka menghibur, dan membantu jika ia bertakwa kepada Allah. (HR al-Baihaqi).

Keenam, mempergauli suaminya dengan baik untuk memelihara keridhaannya. Dalam hal ini, Asma’ binti Yazid al-Asyhaliyah menuturkan bahwa ia pernah datang kepada Nabi saw. yang sedang berkumpul bersama para sahabat. Ia kemudian berkata kepada beliau:

“Demi bapakku, Engkau, dan ibuku; wahai Rasulullah, aku adalah utusan para wanita kepadamu. Sesungguhnya belum ada seorang wanita pun, baik di timur maupun di barat, yang terdengar darinya ungkapan seperti yang akan aku ungkapkan atau belum terdengar seorang pun yang mengemukakan seperti pendapatku. Sesungguhnya Allah Swt. mengutusmu kepada laki-laki dan wanita seluruhnya hingga kami beriman kepadamu dan Tuhanmu. Akan tetapi, sesungguhnya kami, para wanita, terbatasi dan terkurung oleh dinding-dinding rumah kalian (para lelaki), memenuhi syahwat kalian, dan mengandung anak-anak kalian. Sesungguhnya kalian, wahai para lelaki, mempunyai kelebihan daripada kami dengan berkumpul dan berjamaah, melakukan kunjungan kepada orang sakit, menyaksikan jenazah, menunaikan ibadah haji demi ibadah haji, dan—yang lebih mulia lagi dibandingkan dengan semua itu—jihad di jalan Allah. Sesunguhnya jika salah seorang dari kalian keluar untuk menunaikan ibadah haji, menghadiri pertemuan, atau berjaga di perbatasan, kamilah yang menjaga harta kalian; yang mencucikan pakaian kalian; dan yang mengasuh anak-anak kalian. Lalu apakah adakah kemungkinan bagi kami untuk bisa menyamai kalian dalam kebaikan, wahai Rasulullah?”

Rasulullah saw. menoleh kepada para sahabat seraya berkata, “Apakah kalian mendengar perkataan wanita ini. Sungguh, adakah yang lebih baik dari apa yang diungkapkannya berkaitan dengan urusan agamanya ini?”

Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak menyangka bahwa wanita ini tertunjuki kepada perkataan tersebut.”

Rasulullah saw. lalu menoleh kepada wanita tersebut seraya bersabda, “Pergilah kepada wanita mana saja dan beritahulah mereka yang ada di belakangmu, bahwa kebaikan salah seorang di antara kalian (para wanita) dalam memperlakukan suaminya, mencari keridhaan suaminya, dan mengikuti keinginannya adalah mengalahkan semua itu.” (HR al-Baihaqi).

Mendengar sabda rasul itu, wanita itu pun pergi seraya bersuka cita. Ia kemudian menyampaikan kabar gembira itu kepada kaumnya.

Di antara kebaikan pergaulan wanita terhadap suaminya adalah ia tidak berpuasa sunnah jika suaminya berada di rumah, kecuali seizin suaminya; juga tidak mengizinkan mahram-nya berada di rumah suaminya, kecuali seizin suaminya. Abu Hurairah r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ وَلاَ تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ»

Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa (sunah), sedangkan suaminya berada di rumahnya, kesuali seizin suaminya; jangan pula ia mengundang seseorang ke rumah suaminya, kecuali seizin suaminya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Termasuk kebaikan pergaulan istri kepada suaminya adalah bahwa ia tidak mendirikan shalat sunnah pada malam hari, kecuali seizin suaminya. Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

«لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ أَوْشَكَ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا»

Janganlah seorang wanita mengizinkan seseorang berada di rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya dan janganlah ia bangkit dari tempat tidurnya lalu mendirikan shalat sunnah kecuali dengan izin suaminya. (HR ath-Thabrani).

Di antara kebaikan pergaulan istri terhadap suaminya adalah keridhaannya jika suaminya memarahinya. ‘Abdullah bin ‘Abbas menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«أَلاَّ أُخْبِرُكُمْ بِِِِنِسِائِكُمْ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ اْلوَدُوْدُ اْلوَلُوْدُ اْلعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا الَّتِيْ إِذَا آذَت أَوِ أُوْذِيَتْ جَاءَتْ حَتَّى تَأْخُذَ بِيَدِ زَوْجِهَا ثُمَّ تَقُوْلُ وَاللهِ لاَ أَذُوْقُ غَمِضاً حَتَّى تَرْضَى»

Ingatlah, aku telah memberitahu kalian tentang istri-istri kalian yang akan menjadi penduduk surga, yaitu yang penyayang, banyak anak (subur), dan banyak memberikan manfaat kepada suaminya; yang jika ia menyakiti suaminya atau disakiti, ia segera datang hingga berada di pelukan suaminya, kemudian berkata, “Demi Allah, aku tidak bisa memejamkan mata hingga engkau meridhaikuku). (HR al-Baihqai).

Semua sifat di atas adalah sifat-sifat yang seharusnya menjadi sifat para wanita.

Sebaliknya, ada sifat-sifat yang justru harus dijauhi oleh para wanita, di antaranya:

Pertama, jangan menyusahkan atau menyakiti suaminya. Mu‘adz bin Jabal menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«لاَ تُؤَذِّي اِمْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِيْ الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ اْلحُوْرِ اْلعِيْنِ لاَ تُؤَذِّيْهِ قاَتَلَكِ اللهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا»

Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia kecuali istri-istri suaminya dari para bidadari surga berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah mencelakakanmu. Sesungguhnya bagimu akan segera datang tamu kematian yang akan memisahkanmu dengan suamimu dan mengembalikannya kepada kami.” (HR at-Tirmidzi).

Kedua, hendaknya tidak mengadukan suaminya atau tidak banyak menuntut suaminya. Sa‘id ibn al-Musayab menuturkan bahwa seorang anak perempuan pernah datang kepada Nabi saw. dan mengadukan suaminya. Nabi saw. kemudian bersabda (yang artinya), “Kembalilah engkau. Sungguh, aku tidak menyukai wanita menyeret ekornya mengadukan suaminya.” (HR Sa‘id bin al-Musayyab).

Ketiga, hendaknya tidak banyak keluar rumah. Berdiam di rumah bagi seorang wanita lebih baik daripada ia keluar dari rumah. Kesibukannya di dapur (menyiapkan makanan untuk suami keluarganya), aktivitasnya mengasuh anak, atau kegiatannya mencuci adalah lebih mulia daripada kepergiannya ke luar rumah dan berada di jalan-jalan, di kendaraan umum, atau di tempat-tempat umum yang berdesak-desakan dan bercampur dengan para lelaki.

Sifat-sifat itulah sifat yang harus dijauhi oleh para wanita. Sementara itu, sifat-sifat yang dikemukan sebelumnya adalah perhiasan bagi mereka. Oleh karena itu, hendaklah para wanita menghiasi diri mereka dengan sifat-sifat tersebut. Dengan begitu, para wanita akan kembali ke jalan wanita-wanita Mukmin terdahulu; yakni para wanita yang benar, yang menjadi para shahabiyah Rasululah saw. Mereka akan berada di sisi kaum Mukmin yang benar yang semuanya dikomentari oleh Allah dalam firman-Nya:

]لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِنْدَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيمًا[

Allah pasti akan memasukkan Mukmin laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah pun menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Yang demikian itu sesunguhnya di sisi Allah merupakan keberuntungaan yang besar. (QS al-Fath [48]: 5). [sumber alwaie arab]

Read More......

Frustasi Tak Akan Mengubah Apapun


Mendung gelap frustasi (keputusasaan) sedang melingkupi kehidupan sebagian kaum Muslim. Mereka merasa bahwa realitas tempat hidup mereka tidak dapat dielakkan, tidak ada jalan keluarnya, dan tidak mungkin bisa diubah sesuai dengan apa yang mereka yakini. Bahkan frustasi itu juga telah meliputi sebagian para penggerak perubahan yang benar. Mereka merasa bahwa perkaranya telah keluar dari batas kuasa dan kehendak mereka.


Faktor Penyebab Munculnya Frustasi

Sikap frustasi yang melingkupi sebagian kaum Muslim dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya:

Pertama, meluasnya kerusakan dan terasingnya agama. Hal itu menjadi sangat serius akibat runtuhnya Daulah Khilafah. Kemungkaran menjadi sesuatu yang biasa dan tampak menonjol di negeri-negeri Muslim. Di bawah pemerintahan sistem kufur di negeri-negeri Muslim, pada sebagian besar medan kehidupan, kemakrufan bahkan dianggap mungkar, dan kemungkaran dianggap sebagai makruf. Nabi saw. telah mengabarkan kondisi agama seperti ini dengan sabdanya:

«إِنّ اْلإِسْلاَمَ بَدَأَ غَرِيْباً وَسَيَعُوْدُ غَرِيْباً كَمَا بَدَأَ فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ»

Agama ini (Islam) pada awalnya adalah sesuatu yang (dianggap) asing dan akan kembali (dianggap) asing sebagaimana awalnya. Karena itu, berbahagialah orang-orang yang terasing. (HR at-Tirmidzi).

Kedua, adanya berbagai kesulitan dalam melakukan perubahan dan lambannya pergerakan perubahan itu dalam pandangan mereka yang frustasi. Dalam pandangan mereka yang frustasi, masa depan tidak akan memunculkan harapan nasib yang baik.

Ketiga, adanya berbagai tantangan baru. Di bawah era globalisasi dan dunia yang semakin terbuka, karakteristik -karakteristik masyarakat akan lenyap. Kemungkinan masyarakat untuk tetap menjaga pengaruhnya terhadap anak-keturunannya akan semakin lemah, khususnya dalam kondisi ketika Daulah Islam telah lenyap, dan akan menjadi terbatas di bawah ombak yang menghanyutkan dari serangan yang bersifat internasional.

Keempat, adanya perbedaan antara kekuatan dan kemampuan yang ada dalam aktivitas perubahan total (taghyîr). Betapapun demikian, kita dapat mengelompokkannya dalam dua kutub: (1) kekuatan para pengemban dakwah yang ingin mengembalikan umat pada akar konsep dan metode syar‘i-nya; (2) kekuatan kekufuran yang ingin menjerumuskan umat ke arah kerusakan. Faktanya, kekuatan kufur yang mendorong masyarakat pada kerusakan lebih besar dan lebih banyak menguasai kemampuan. Sebaliknya, kekuatan para pengemban dakwah yang ingin menarik dan mengikat umat pada akar Islam serta ingin mengembalikan kemuliaan dan keagungan mereka adalah lebih rendah. Perbedaan yang sangat besar inilah yang menggiring mereka yang frustasi itu melupakan kebenaran bahwa pertolongan Allah (nashr Allâh) adalah sekutu bagi pengemban kebenaran, sekalipun jumlah mereka sedikit.

Kelima, metode berpikir dan omongan manusia. Metode berpikir mereka, yakni orang-orang yang frustasi, selalu melihat sisi kezaliman dan keburukan semata. Adapun omongan mereka biasanya bersifat kritik dan memprediksi kesialan. Bahkan deskripsi positif mereka ubah menjadi deskripsi negatif.

Itulah beberapa faktor yang mengantarkan pada sikap frustasi pada sebagian kalangan. Ini adalah perkara yang masih rendah jika melanda masyarakat awam. Akan tetapi, masalahnya, gejala frustasi ini telah menerobos dan merasuki kelompok mereka yang sedang ditungu untuk bergabung dalam aktivitas perubahan total (taghyîr); telah meliputi dan menguasai sebagian orang yang justru menjadi tumpuan harapan umat akan perubahan total.

Dampak Frustasi

Sesungguhnya ‘pohon frustasi’ itu hanya akan menghasilkan buah yang pahit. Di antara buah pahit frustasi itu adalah:

Pertama, frustasi tidak mungkin mengubah apapun. Rasa frustasi tidak akan mendorong orang untuk berbuat, menggerakkan orang yang diam, ataupun membangkitkan keinginan. Bahkan frustasi itu hanya akan membuat pengidapnya hanya menunggu akhir yang menyedihkan: ia tidak akan berbuat apapun; tidak akan berpikir, berusaha mensiasati, dan hanya akan terus menunggu kematian dan kesudahan.

Kedua, frustasi akan mengendurkan orang-orang di sekitarnya dan tidak menghentikan bahaya atas dirinya. Orang yang frustasi selamanya akan berbicara dengan orang lain dengan sejumlah ungkapan semisal, “Tidak ada harapan lagi,” “Perkaranya lebih besar daripada apa yang Anda bayangkan, jadi Anda jangan terlalu menyibukkan diri dengan perkara semisal itu,” “Pikirkanlah urusan diri Anda sendiri,” dll.

Ketiga, frustasi akan melahirkan pola pikir (‘aqliyyah) memahami berbagai peristiwa secara keliru yang akan berdampak pada pola jiwa (nafsiyyah) pengidap rasa frustasi itu. Frustasi biasanya akan mendorong pengidapnya membayangkan suatu bahaya yang pada dasarnya belum tentu akan terjadi; menganggap mimpi sebagai realitas yang terindera. Ini terkait apa yang tidak terjadi. Adapun terhadap peristiwa yang terjadi, frustasi akan membuat pengidapnya tidak lagi memandang peristiwa sebagaimana adanya (obyektif). Jika Anda menyampaikan berita-berita mengenai kemajuan dakwah, Anda akan melihat dia meremehkan berita itu, dan meragukan kebenarannya.

Keempat, frustasi akan membuat pengidapnya selalu melihat pada aspek negatif dan membesar-besarkannya. Orang-orang frustasi itu selamanya akan memandang sisi gelap ini dan menyebarkannya. Sebaliknya, mereka akan menyurutkan aspek positif sekaligus meremehkan dan mengecilkan artinya.

Bagaimana agar Kita Bebas dari Frustasi?

Pertama, kita harus memahami bahwa frustasi itu tercela secara syar‘i maupun menurut akal sehat kita. Menurut akal sehat, bagaimanapun buruknya realitas yang ada, suatu aktivitas perubahan pastilah meninggalkan pengaruh. Adapun secara syar‘i, frustasi tidak dinyatakan di dalam nash syariat kecuali dalam posisi tercela; apalagi jika frustasi itu sampai pada tingkat berputus asa dari rahmat Allah, itu termasuk sifat orang kafir. Allah Swt. berfirman:

]إِنَّهُ لاَ يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ[

Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir. (QS Yusuf [12]: 87).

Satu hal penting, kita harus memahami bahwa frustasi (putus asa) tidak mungkin mendorong kemajuan. Kita memang harus memahami betapa buruknya realitas kita saat ini, baik realita individu atau realita umat; juga memahami seberapa jauh tantangan yang akan kita hadapi, seberapa jauh bahayanya, dan seberapa jauh penyimpangan yang menimpa umat. Akan tetapi, pemahaman itu tidak boleh melampaui batasnya, karena hal itu tidak mungkin mendorong kita untuk berbuat, malah justru akan membuat kita diam saja dan menyerah.

Kedua, seimbang dalam kritik. Sesungguhnya kritik itu harus bersifat obyektif dan seimbang. Ketika kita menyampaikan kritik dan melewati batasnya, maka hal itu akan mengantarkan pada frustasi. Ketika seseorang yang meminum khamr di datangkan ke hadapan Nabi saw., dan beliau mencambuknyanya, ada seorang laki-laki yang mencaci orang itu. Nabi saw. kemudian bersabda:

«لاَ تَعِيْنُوْا عَلَيْهِ الشَّيْطَانَ»

Jangan kalian membantu setan menguasainya. (HR al-Bukhari).

Sanksi yang layak telah diterimanya, yaitu hukuman cambuk. Ketika mereka (orang-orang) mencaci, mencela, dan melaknatnya, maka hal itu akan membuat setan lebih mencengkeramnya. Ini terkait dengan individu.

Adapun berkaitan dengan umat, Nabi saw. juga telah melarang kita melampaui hal itu. Nabi saw. pernah bersabda:

«إِذَا قَالَ الرَّجُلُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكَهُمْ»

Jika seorang laki-laki berkata, “Celakalah manusia,” maka ia telah mencelakakan mereka. (HR Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad).

Berkaitan dengan hadis di atas, Imam al-Khathabi berkata, yakni ia telah menambah buruk kondisi mereka. Bahkan hal itu sering mengantarkan dirinya pada kebanggaan akan diri sendiri dan pandangan bahwa ia lebih baik daripada mereka.

Ketiga, memahami kebenaran bahwa Allah Swt. tidak membebani kewajiban kepada kita kecuali sebatas apa yang kita mampu. Allah tidak menetapkan tujuan/target yang mustahil kita capai. Apalagi Allah Swt. telah memuliakan kita dengan tugas mengemban risalah terakhir dan mewakilkan kepada kita tanggung jawab kepemimpinan umat manusia untuk membawa mereka pada petunjuk. Ini saja sebenarnya cukup untuk mengatasi rasa frustasi.

Keempat, memahami nash syariat yang menunjukkan akan dimenangkannya Islam. Allah Swt., misalnya, berfirman:

]وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ[

Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang Mukmin. (QS ar-Rum [30]: 47).

]إِنْ تَنصُرُوا اللهَ يَنصُرْكُمْ[

Jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian. (QS Muhammad [47]: 7).

]وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ[

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. (QS an-Nur [24]: 55).

Di dalam as-Sunnah, kita juga akan menjumpai banyak sekali janji itu. Nabi saw., antara lain, pernah bersabda:

«لَيَبْلُغُنَّ هَذَا اْلأَمْرُ مَا بَلَغَ اللَّيِلَ وَالنَّهَارَ وَلاَ يَتْرُكُ اللهُ بَيْتَ مَدَرٍ وَلاَ وَبَرٍ إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللهُ هَذَا الدِّيْنَ»

Sungguh, urusan ini (dakwah Islam) pasti akan sampai (ke seluruh alam) sebagaimana sampainya siang dan malam. Allah tidak akan membiarkan satu rumah pun, baik di tengah penduduk kota maupun di tengah penduduk kampung, kecuali agama ini masuk ke dalamnya. (HR Ahmad).

Pemahaman terhadap nash-nash di atas dan semacamnya sejatinya akan menghilangkan rasa frustasi.

Kelima, memahami bahwa mengatasi frustasi merupakan metode untuk sampai pada solusi, dan bahwa harapan/pertolongan selamanya akan datang setelah datangnya berbagai kesulitan. Hal itu sesuai dengan firman Allah Swt.:

]حَتَّى إِذَا اسْتَيْئَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا[

Hingga jika para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada mereka pertolongan Kami. (QS Yusuf [12]: 110).

Keenam, memahami bahwa berbagai peristiwa yang lahiriahnya buruk sejatinya sering merupakan kebaikan. Allah Swt. berfirman:

]فَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئَاً وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْراً كَثيراً[

Mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS an-Nisa' [4]: 19).

Pada peristiwa Hijrah, Nabi saw. melaksanakan sebab-sebab fisikal. Beliau bersama sahabatnya, Abu Bakr, bersembunyi di Gua Tsur, lalu keduanya pergi melanjutkan perjalanan. Kemudian Suraqah berhasil menyusul keduanya hingga mendekati mereka. Orang yang membaca peristiwa itu saat ini, yang menjalani hidupnya dan limbung, maka yang langsung terlintas dalam benaknya adalah bahwa bahaya itu akan terjadi. Keguncangan dan kekhawatiran terhadap keselamatan Nabi saw. juga menimpa Abu Bakar. Adapun Nabi saw, beliau memandang peristiwa itu dengan diterangi cahaya Ilahi. Tiba-tiba, kaki-kaki kuda Suraqah terjerembab, dan Nabi saw. memang mendoakan demikian. Peristiwa ini pada awalnya tampak sebagai peristiwa buruk, tetapi berubah menjadi sebab pertolongan kepada Nabi saw. dan sahabatnya.

Orang-orang yang optimis adalah mereka yang di tengah peristiwa-peristiwa itu mencari berita gembira. Mereka bukanlah orang-orang yang dikuasai rasa frustasi dan kelemahan. Ketika kita menghidupkan ruh optimis, maka peristiwa-peristiwa yang menghadang kita harus kita perlakukan secara seimbang. Benar, kita hidup di alam angan-angan (harapan), dan kita tidak melupakan bahaya-bahaya yang mungkin muncul. Akan tetapi, jika kita menghendaki perubahan total (taghyîr), maka hendaknya kita mencari aspek-aspek dan celah-celah yang darinya kita mungkin bertolak ke arah perubahan total hingga sampai pada tujuan yang kita maksud.

Di sini kami ingin memberikan satu contoh. Ketika Imam Ahmad ra. dibawa untuk dicambuk dalam peristiwa fitnah yang menimpa beliau, dan beliau dimasukkan ke dalam penjara bersama dengan para pencuri dan pembegal jalanan, salah seorang dari mereka menghentikan beliau dan berkata, “Apakah Anda mengenal saya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Lalu orang itu menceritakan kepada beliau pencurian dan pembegalan yang sering ia lakukan. Ia kemudian berkata, “Aku telah dicambuk sekian kali dalam sejumlah kasus pencurian, dan itu tidak membuatku kapok untuk mencuri. Adapun Anda, Anda dicambuk karena kebenaran. Karena itu, Anda lebih utama daripada saya untuk tetap teguh di atas kebenaran itu.”

Ketujuh, mengambil pelajaran dari sejarah. Ketika kita membaca sejarah, kita akan menjumpai bahwa jalan keluar itu selalu datang setelah kesempitan dan kesusahan. Di dalam Sirah Nabi saw. banyak terdapat contoh. Di antaranya:

1. Peristiwa Hijrah. Kaum musyrik benar-benar telah mengepung rumah Nabi saw. hingga beliau tidak tidur di rumah beliau dan keluar bersama sahabat beliau ke Gua Tsur untuk bersembunyi, lalu keluar ke Madinah melalui jalan yang tidak biasanya. Kaum musyrik telah mengerahkan kekuatan mereka untuk mendapatkan Nabi saw. dan sabahatnya, hidup atau mati. Saat itu keadaannya telah sampai pada kesulitan luar biasa. Apa yang terjadi kemudian? Kaum Muslim merasa tenang, mereka berhasil mendirikan negara, serta membangun masjid dan melaksanakan shalat dengan penuh ketenteraman.

2. Peristiwa Perang Ahzab datang setelah kesedihan menimpa kaum Muslim akibat kekalahan pada Perang Uhud. Kaum Quraisy ingin menumpas habis kaum Muslim. Mereka lalu membangun pasukan besar. Ribuan pasukan yang terdiri dari Quraisy dan sekutunya datang dan mengepung Madinah. Pada saat yang sama, kaum Yahudi menyerang dari arah belakang kaum Muslim. Akan tetapi, Allah Swt. kemudian memberikan pertolongan-Nya kepada kaum Mukmin. Allah Swt. menggambarkan kondisi ini:

]يَا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إذْ جَاءَتْكُمْ جُنُودٌ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ ريِحاً وَجُنُوداً لَمْ تَرَوْها[

Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepada kalian ketika datang kepada kalian pasukan, lalu Kami mengirimkan kepada mereka angin topan dan pasukan yang tidak dapat kalian lihat. (QS al-Ahzab [33]: 9-11).

3. Perdamaian Hudaibiyah dan syarat-syaratnya telah membuat sebagian sahabat merasa sempit. Akan tetapi, kebaikan perjanjian damai itu baru tampak jelas dalam kisah Abu Bashir dan dalam berubahnya Perdamaian Hudaibiyah itu menjadi pembuka jalan bagi Penaklukan Makkah (Fath Makkah).

4. Nabi saw. wafat dan musibah menimpa kaum Muslim. Kabilah-kabilah Arab murtad keluar dari Islam. Tidak tersisa kecuali Madinah, Makkah, Thaif, dan orang-orang yang benar di sekitar mereka. Bahkan sekelompok dari mereka merasa frustasi. Kemudian Allah memberikan jalan keluar. Dalam masa dua tahun beberapa bulan Kekhilafahan Abu Bakar, seluruh jazirah Arab telah tunduk, dan orang-orang yang murtad telah kembali kepada Islam. Kemudian mulailah terjadi penaklukan atas Persia dan Romawi.

Inilah contoh-contoh yang dimiliki umat ini. Pembacaan terhadap sejarah ini akan memberikan banyak pelajaran dan ‘ibrah kepada kita, bahwa Allah Swt. pasti akan selalu menolong Islam dan para pejuangnya yang lurus dan ikhlas.

Ya Allah, kami memohon perlindungan kepada-Mu dari rasa frustasi (putus asa) terhadap rahmat dan karunia-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Mendengar dan Maha Menjawab Doa. []

Read More......

Ambiguitas Feminisme; Antara Fakta dan Klaim


Ada di antara kaum Muslim/Muslimah yang percaya bahwa feminisme merupakan solusi untuk mengatasi subordinasi perempuan oleh laki-laki akibat ketidaksetaraan jender. Bagaimana Islam memandang feminisme? Telaah Kitab kali ini membahas sebagian gagasan di seputar feminisme dalam buku yang berjudul, Perempuan, Feminisme, dan Islam karya Ismail Adam Patel syabab Hizbut Tahrir Inggris.


Ragam Aliran Feminisme dan Definisinya

Kita perlu memahami gerakan feminisme, mengingat gerakan tersebut menyatakan dirinya berjuang untuk mewujudkan emansipasi dan kesejahteraan kaum perempuan pada masa sekarang ini. Gerakan feminisme sendiri mempunyai banyak aliran. Di antaranya:

Pertama, gerakan feminisme Marxis (sosialis). Doktrinnya, setiap perempuan, baik dari kalangan proletar maupun borjuis, harus memahami bahwa penindasan terhadap kaum perempuan bukan semata-mata karena perbuatan sengaja individu-individu, tetapi lebih merupakan produk struktur politik, sosial, dan ekonomi yang disebabkan oleh Kapitalisme.

Kedua, feminisme liberal. Paham ini berjuang untuk menghapuskan berbagai perbedaan seksual sebagai langkah awal menuju kesetaraan sejati. Gerakan ini meyakini, untuk mewujudkan kedudukan yang setara antara kaum laki-laki dan perempuan maka segala bentuk stereotip trentang peran sosial bagi laki-laki dan perempuan harus dihapuskan.

Ketiga, feminisme radikal. The New York Feminist Manifesto tahun 1971 menyatakan:

Feminisme radikal memandang bahwa penindasan terhadap kaum perempuan merupakan suatu bentuk penindasan politik yang mendasar; kaum perempuan dianggap sebagai suatu kelompok yang berkedudukan lebih rendah semata-mata karena jenis kelaminnya. Tujuan feminisme radikal adalah melakukan pengorganisasian secara politik untuk meruntuhkan sistem yang mengelompokkan warga masyarakat berdasarkan jenis kelamin ini.

Sebagai kelompok feminis radikal, kami menyadari, bahwa kami tengah melakukan pertarungan kekuatan dengan kaum laki­-laki, dan bahwa pelaku penindasan terhadap kaum perempuan adalah semua laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai makhluk yang unggul dan istimewa serta mengemban konsep keunggulan dan keistimewaan peran laki-laki….

Feminisme radikal atau feminisme ekstrem menganggap laki-laki sebagai penjahat, yang menggunakan kekuatannya untuk menarik manfaat dari kaum perempuan; mulai dari pemuasan ego, eksploitasi ekonomi dan domestik, dominasi seksual, hingga klan kekuasaan politik.

Walaupun sudah ada aliran dalam gerakan feminisme, istilah “feminisme” sendiri masih bersifat sangat subyektif dan sering digunakan secara sembarangan. Akibatnya, sering muncul kebingungan dan berbagai definisi tentang feminisme.

Di antara berbagai definisi feminisme yang berkembang pada saat ini adalah:

(1) Kelompok-kelompok yang berjuang untuk mengubah kedu­dukan kaum perempuan atau berbagai pemikiran tentang kaum perempuan, mendapatkan julukan kaum feminis.

(2) Sebuah doktrin yang menyerukan kesetaraan hak-hak sosial dan politik kaum perempuan dengan kaum laki-laki.

(3) Feminisme juga bermakna, segala upaya untuk membuat kaum perempuan mempunyai kesempatan dan hak-hak istimewa sebagaimana yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, atau penegasan tentang adanya nilai-nilai keperempuanan yang spesifik, yang berbeda dengan anggapan negatif kaum laki-laki selama ini. Sekalipun tidak berarti bahwa kedudukan perempuan harus bersifat eksklusif, ada kecenderungan kuat untuk membuat demikian. Persoalannya adalah: apakah kaum perempuan seperti laki-laki atau tidak.

(4) Kaum feminis tidak berjuang hanya untuk menghapuskan hak-hak istimewa kaum laki-laki, tetapi juga menghilangkan perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin di antara manusia semestinya tidak menjadi permasalahan lagi. Konsep keluarga biologis yang tidak adil harus dipatahkan, demikian pula konsep kekuatan psikologis yang selama ini menjadi dalih superioritas kaum laki-laki.

Pandangan ‘Hina’ Berbagai Peradaban Terhadap Perempuan

Perempuan menurut doktrin berbagai peradaban—selain Islam—sejak dari awalnya memang dipandang tidak lebih sebagai komoditas, alat pemuas nafsu yang diperjualbelikan secara murahan. Sebagai contoh, dalam doktrin peradaban Yunani, menurut penuturan Prof. Will Durant:

Di Roma, hanya kaum lelaki saja yang memiliki hak-hak di depan hukum pada masa-masa awal negara Republik. Kaum lelaki saja yang berhak membeli, memiliki, atau menjual sesuatu, atau membuat perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin istrinya—pada masa-masa tersebut—menjadi miliknya pribadi….Proses kelahiran menjadi suatu perkara yang mendebarkan di Roma. Jika anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat atau berjenis kelamin perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya.

Bahkan para filosof Yunani sendiri pun menyamakan perempuan dengan para budak yang hina dan ‘patut’ ditindas. Aristoteles mengatakan:

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa menurut hukum alam, harus ada unsur yang secara alamiah memerintah dan harus ada unsur yang secara alamiah diperintah….Kekuasaan orang-orang yang bebas terhadap para budak adalah salah satu bentuk hukum alam; demikian pula kekuasaan kaum lelaki atas kaum perempuan….

Orang-orang Yunani juga memposisikan kaum perempuan pada kasta ketiga (kasta yang paling bawah) dari masyarakat. Apabila seorang perempuan melahirkan anak yang cacat, biasanya ia akan dihukum mati. Masyarakat Sparta, yang dikenal sebagai kelom­pok elit, memberlakukan hukuman mati bagi seorang perempuan yang tidak lagi mampu mengasuh anak. Orang-orang Sparta juga biasa mengambil kaum perempuan dari suaminya untuk dihamili oleh laki-laki yang “pemberani dan perkasa” dari masyarakat lain.

Pandangan yang lebih menghinakan lagi dapat kita dapati dalam peradaban Yahudi. Kaum Yahudi ortodoks yang mempelajari ajaran klasik Yahudi akan mendapati, bahwa ada di antara ajaran dan aturan Yahudi yang menindas kaum perempuan. Talmud, sebuah kitab yang berisi aturan-aturan dalam kehidupan pribadi dan peribadatan menyatakan: Mustahil ada sebuah dunia yang tanpa keberadaan kaum lelaki dan perempuan. Namun demikian, berbahagialah orang-orang yang mempunyai anak laki-laki, dan celakalah orang-orang yang mempunyai anak perempuan.

Pandangan yang tak jauh berbeda juga dilontarkan oleh peradaban Hindu. Sebuah buku yang berisi aturan-aturan keagamaan Sansekerta kuno, Draramasastra, memuat satu bab tentang “kedudukan klan kewajiban agama kaum perempuan” atau stridharmapaddhati. Pengarang (atau lebih tepatnya penyusun) buku ini, Tryambaka, adalah seorang pandit (pendeta) ortodoks yang tinggal di Thanjavur, yang sekarang terletak di bagian selatan negara bagian Tamil Nadu, India. Aturan tentang kaum perempuan dalam buku tersebut secara umum menempatkan kaum perempuan pada golongan warga negara kelas dua. Sebagai contoh, seorang istri tidak mempunyai hak atas harta kekayaan suaminya. Harta kekayaan yang dimiliki bersama oleh suami dan istri hanya boleh dikeluarkan oleh sang suami; boleh dikeluarkan oleh istri, tetapi harus seizin suaminya. Ada tiga pesan yang dapat diambil dari buku Pandit Tryambaka ini. Pertama: seorang istri tidak perlu memperhatikan kehidupan pribadinya. Kedua: seorang istri bahkan harus rela untuk dijual apabila suaminya menghendaki. Ketiga: kepatuhan kepada suaminya harus diutamakan ketimbang kewajiban-kewajiban lainnya, termasuk kewajiban-kewajiban agama sekalipun.

Agama Nasrani pun tak luput dalam melecehkan perempuan. Menurut Encyclopedia Britannica, “Sejak awal, lembaga gereja telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang amat rendah.”

Barat pun ‘Melecehkan’ Perempuan

Saat ini, di Barat ketika kaum perempuan merasa bertanggung jawab atas segala urusannya sendiri, apakah mereka telah mencapai puncak kesetaraan jender? Apakah “perempuan baru” yang ada di Barat telah mampu membebaskan diri sepenuhnya dari berbagai penindasan sebagaimana yang mereka perjuangkan? Apakah kemunculan gerakan “pembebasan” mereka itu menandakan datangnya kehidupan dunia yang baru dan lebih bermoral? Apakah gerakan “pembebasan” itu telah mampu mewujudkan emansipasi kaum perempuan yang hakiki, dan membebaskan mereka dari ketidakadilan?

Menurut mereka (kaum feminis), jawaban yang diberikan pastilah, “Ya.” Namun, sayangnya kita terpaksa menjawab, “Tidak!”

Mereka mengklaim telah mempunyai peradaban modern dan beradab. Namun sejatinya, peradaban mereka penuh dengan nuansa bar-bar dan kembali pada kebodohan. Tingginya angka pembunuhan bayi, prostitusi, pemerkosaan, perceraian, dan single parent (yang paling umum adalah single mother) adalah menjadi pertanda bahwa adat kebiasaan mereka sama dengan adat kebiasaan yang dipraktikkan oleh “bangsa-bangsa biadab” Romawi Kuno, Persia, Arab Jahiliah, dan Yahudi.

Salah satu fakta yang menunjukkan bagaimana di mata Barat perempuan sangat dilecehkan adalah kasus aborsi. Pada abad modern ini, di Barat, membunuh bayi perempuan tidak berdosa yang baru lahir boleh jadi sangat jarang kita temui. Akan tetapi, menggugurkan mereka ketika masih berbentuk janin, kemudian mengeluarkan jasad mereka dari rahim dalam keadaan terpotong-potong seperti sampah, semakin umum dilihat dan dipraktikkan. Teknik aborsi yang terbaru, yang diberi nama “partial birth-abortion”, dilakukan dengan mengeluarkan janin dari dalam rahim sepotong demi sepotong sehingga tinggal kepala bayi yang masih tersisa di dalam rahim. Kemudian para praktisi aborsi (apakah orang-orang seperti ini layak diberi gelar dokter?), melubangi tengkorak bayi dengan sebuah alat yang taham, memasukkan kateter ke dalamnya, dan menyedot otak bayi sampai habis. Setelah isinya disedot habis, maka kepala bayi berikut sisa-sisa tubuh lainnya dapat dikeluarkan semuanya dengan mudah. Inikah sebuah peradaban modern yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan?

Fakta kedua tentang pelecehan Barat terhadap perempuan adalah industri pornografi. Pesatnya pertumbuhan industri pornografi sejak tahun 1950-an, sekali lagi, dipandang mencerminkan kemajuan “kesetaraan jender” di Barat. Dunia pornografi sama sekali tidak mem­pertimbangkan kaum perempuan sebagai manusia yang mempunyai perasaan dan kebutuhan, namun hanya sekadar sebagai komoditas yang layak dimanfaatkan dan segera disingkirkan apabila tak lagi dapat dijual. Kaum perempuan diyakinkan bahwa dengan menjual tubuh, mereka akan mampu meraih “keseta­raan”. Padahal kenyataannya, kaum perempuan hanya menjadi obyek kaum laki-laki yang memanfaatkan kedok “kesetaraan” untuk dapat mengeksploitasi kaum perempuan semata-mata demi kepentingan hawa nafsu mereka dan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.

Pada tahun 1980-an, sebuah “langkah maju” dalam hal manipulasi perempuan kembali terjadi. Sheila Jeffreys, seorang feminis, menulis:

Kaum perempuan telah diberitahu oleh para pengusung ide kebebasan, bahwa karena sekarang kaum perempuan telah “setara” dengan kaum laki-laki, maka tidak ada salahnya kaum perempuan ikut menikmati pornografi. Ideologi ini justru telah menggagalkan gerakan emansipasi perempuan, bukan mendukungnya. Gagasan untuk menjual produk-produk pornografi kepada kaum perempuan sejak tahun 1980-an telah menjadi sebuah strategi yang canggih dan efektif dalam memperkuat kekuasaan kaum laki-laki. [Gus Uwik]

Read More......

Hukum Seputar Dakwah Wanita


Apa sebenarnya peran kaum wanita Muslimah dalam mengemban dakwah Islam. Secara syari’ apakah mereka wajib mengemban dakwah seperti halnya kaum pria, atau bagaimana?

Pada dasarnya, hukum syara’ itu dibebankan kepada laki-laki dan wanita. Tidak ditemukan perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal taklif (pembebanan hukum), kecuali bila terdapat nash-nash yang membedakannya.


Apabila terdapat seruan seperti: “Hai orang-orang yang beriman”, maka seruan tersebut selain ditujukan untuk kaum lelaki mencakup pula wanita. Dengan demikian, tidak perlu ada seruan khusus untuk kaum wanita, misalnya: “Wahai orang-orang wanita yang beriman”.

Dalam bahasa arab terdapat kaidah yang menyatakan bahwa seruan bagi kaum laki-laki sekaligus mencakup seruan bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan seruan bagi perempuan, tidak mencakup bagi laki-laki; ia terbatas hanya untuk kaum wanita saja. Atas dasar tersebut dapat dipahami bahwa seruan-seruan Allah SWT seperti1): “Wahai, orang-orang yang beriman”; “Wahai manusia”; “Janganlah kalian membunuh jiwa”; “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang-orang yang menyeru kepada Allah [berdakwah kepada Islam] dan melakukan amal shaleh [melaksanakan hukum-hukum Islam]“; “Dan taatilah Allah, taatilah Rasul dan para pemimpin (pejabat yang menerapkan Islam) dari kalangan kamu”;

——————-

1) Contoh-contoh dari sekian banyak seruan yang terdapat pada ayat-ayat Al Qurâan. “Tegakkanlah shalat dan keluarkanlah zakat”; atau “Sempurnakanlah haji dan umrah itu bagi Allah”.

Juga dapat kita pahami seruan-seruan Rasulullah saw, seperti2): “Kaum muslimin terpelihara darah mereka”; “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata benar atau diam”; “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya”; “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim”; atau “Sebarkanlah oleh kalian salam di antara kamu”.

Walaupun kata-kata yang terdapat dalam firman Allah SWT dan Hadits Rasulullah saw tersebut di atas semuanya berbentuk muzhakar (jenis laku-laki), akan tetapi seruan yang demikian telah disepakati bahwa ia juga mencakup bagi wanita.

Ada beberapa hukum yang dikhususkan bagi kaum pria saja, yaitu apabila ada qarinah (indikasi) yang menerangkan bahwa hukum tersebut tidak mencakup wanita. Demikian juga sebaliknya, ada beberapa hukum yang dikhususkan bagi kaum wanita, yaitu dengan adanya beberapa qarinah yang menunjukkan bahwa hal tersebut tidak diperuntukkan bagi kaum pria. Sebagai contoh; laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, sedangkan kaum wanita tidak; laki-laki memberikan mahar dan nafkah, serta ditangannya terdapat akad talak; akan tetapi ‘iddah mati dan ‘iddah talak tidak berlaku bagi laki-laki, ia hanya berlaku bagi wanita saja; wanita memiliki aurat yang berbeda dengan aurat laki-laki; kesaksian wanita berbeda dengan kesaksian laki-laki; wanita bisa terputus shalat dan shaumnya (karena haid), sedangkan laki-laki tidak. Bagian laki-laki dalam hal warisan, berbeda dengan bagian wanita; dan seterusnya.

Kembali ke pertanyaan di atas, yaitu peran wanita muslimah dalam mengemban dakwah Islam; sebenarnya aktifitas tersebut bukanlah perbuatan yang berdiri sendiri. Dengan kata lain, tidak cukup kita mencari dan membahasnya dari sudut hukum syara’ saja yang berkaitan dengan dakwah wanita. Namun harus dibahas dari sudut hukum yang lain, karena merupakan kumpulan dari berbagai perbuatan yang berkaitan dengan kedudukan wanita dalam keluarga atau dalam masyarakat, serta ada batas-batas hubungan antara pria dengan wanita, dan sebagainya. Dari sinilah, maka dakwah untuk kalangan wanita mempunyai sejumlah hukum syara’. Berikut ini hanya akan disebutkan sebagian saja dari hukum-hukum tersebut:

——————-

2) Contoh-contoh dari sekian banyak seruan yang ada pada hadits-hadits Rasul saw.

(1) Keimanan dan keterikatan kepada halal dan haram ada lah wajib bagi wanita, sebagaimana diwajibkan juga bagi laki-laki.

(2) Menuntut ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan berbagai urusan /perbuatan wanita ada lah wajib. Begitu pula dengan laki-laki terhadap perbuatan yang dikhususkan baginya.

(3) Aktifitas amar ma’ruf nahi munkar adalah wajib bagi wanita, sama halnya bagi laki-laki, tetapi masing-masing melakukannya sesuai dengan kemampuannya.

(4) Mengoreksi tingkah laku penguasa merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar yang sifatnya wajib atas wanita dan laki-laki.

(5) Mengajarkan hukum-hukum Islam kepada kaum muslimin serta memerangi pemikiran-pemikiran kufur dan sesat, merupakan kewajiban atas kaum laki-laki dan wanita.

(6) Kegiatan dakwah untuk menegakkan Islam dan mengembalikan Khilafah Islam untuk memberlakukan hukum sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah, merupakan bagian dari tugas/tanggung jawab bagi laki-laki dan wanita.

(7) Membentuk suatu gerakan Islam yang berjuang untuk mengembalikan Khilafah Islam, melaksanakan amar ma’ ruf nahi munkar, dan mengoreksi/menasihati penguasa, atau bergabung dalam gerakan seperti ini, merupakan fardlu kifayah bagi seluruh kaum Muslimin, baik laki-laki maupun wanita.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat ditemukan dalam nash-nash Syara’ yang mencakup kedua jenis kelamin ini. Dengan tetap berpegang kepada semua ketentuan umum ini, yang kedudukan laki-laki dan wanita di dalamnya adalah sama, maka kita mendapatkan keadaan tertentu berbagai hukum yang khusus bagi laki-laki; namun wanita dikecualikan dari hukum-hukum khusus ini, tetapi ia tidak keluar dari ketentuan-ketentuan yang tercantum pada butir 1-7 di atas. Keadaan yang dimaksud di sini adalah antara lain:

(1) Wanita tidak boleh keluar rumah, tanpa izin dari walinya sendiri. Misalnya, ayah, saudara laki-laki, suami, paman, dan sebagainya. Ketentuan ini membatasi kegiatan dan kemampuannya untuk bergerak di bidang dakwah.

(2) Apabila tidak disertai suami atau salah seorang muhrim dari keluarganya, maka wanita tidak boleh mendatangi tempat-tempat khusus [rumah, apartemen, dan sebagainya] yang di dalamnya terdapat laki-laki asing yang bukan muhrimnya. Ketentuan ini juga membatasi kegiatan dan kemampuannya untuk bergerak di bidang dakwah.

(3) Apabila seorang wanita telah bergabung ke dalam suatu gerakan Islam dan pimpinan gerakan tersebut menyuruhnya melaksanakan suatu perintah, sementara walinya menyuruhnya dengan perintah yang lain, maka ia wajib menaati perintah walinya selama perintah itu bukan berupa maksiat yang nyata atau bukan maksiat menurut pandangan pemimpin gerakan Islam tersebut.

Secara pasti, kita mengetahui bahwa taat kepada pemimpin adalah wajib (sebatas wewenang kepemimpinannya). Pemimpin yang dimaksud di sini antara lain khalifah (kepala negara), pejabat pemerintah, pimpinan partai/organisasi Islam, dan sebagainya. Kita juga tahu bahwa taat kepada ayah dan suami adalah wajib. Semua itu berlaku dalam perkara bukan maksiat kepada Allah SWT. Apabila perintah ayah atau suami bertentangan dengan perintah amir/pemimpin, maka dalam hal seperti ini, mana yang harus ia patuhi?

Yang wajib dipatuhi tidak lain adalah taat kepada ayah atau suami. Sebab, nash-nash Syara’ yang ada memang lebih menekankan /menegaskan agar wanita taat kepada ayah atau suami daripada mentaati amir /pemimpin suatu gerakan Islam, walaupun si wanita termasuk anggota gerakan Islam tersebut. Hadits-hadits Rasulullah saw tentang hal ini sangatlah jelas, seperti antara lain sabda beliau3):

“Ayah itu menduduki pertengahan pintu-pintu surga. Karena itu, peliharalah pintu itu kalau kalian mau, atau tinggalkanlah [dengan segala akibatnya]“.

——————-

3) Lihat Shahih Ibnu Hibban, hadits no. 426.

Imam Al Baidlawi menjelaskan arti dan maksud dari hadits tersebut bahwa sebaik-baik titipan pelintas masuk surga dan mencapai derajat yang tinggi ialah dengan jalan mematuhi perintah seorang ayah dan berbakti kepadanya4). Ketaatan kepada ayah, ini juga ditegaskan di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabari, yaitu sabda Rasulallah saw5):

“Taat kepada Allah adalah sama halnya dengan taat kepada seorang ayah. Berbuat maksiat kepada Allah adalah sama halnya dengan berbuat maksiat kepada seorang ayah”.

Adapun taatnya seorang isteri kepada suami, banyak hadits Rasulallah saw yang menjelaskan hal tersebut. Misalnya, kita perhatikan antara lain sabda beliau6):

“Tidak boleh bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah memberi izin kepada seorang (laki-laki) untuk masuk ke dalam rumah suaminya, sedangkan suaminya itu tidak suka [kepada orang tersebut]. Juga, tidak boleh bagi seorang wanita keluar rumah kalau suaminya tidak suka”.

Di antara aktifitas yang terpenting di dalam mengemban dakwah Islam adalah keterikatan para pengemban dakwah dengan hukum - hukumNya. Sesungguhnya keterikatan seperti itu, baik dari pihak laki-laki maupun wanita, adalah termasuk salah satu kegiatan dakwah untuk merealisasikan Islam. Dengan demikian, apabila seorang wanita berpakaian secara syar’i, perilakunya islami baik di dalam lingkungan keluarga maupun di dalam lingkungan masyarakat, bahkan membenci setiap adat /kebiasaan orang Barat dan lainnya yang begitu nampak sekarang dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam, serta ia merasa bangga dengan ide-ide, hukum-hukum dan adat /kebiasaan yang bernafaskan Islam pada saat ia menampilkan semua sifat /ciri Islam ini di dalam dirinya, maka sesungguhnya ia sudah menjadi seorang da’iyah (pengemban dakwah Islam) walaupun ia sendiri tidak merencanakannya. Oleh karena itu, perilaku yang baik adalah langkah awal dalam berdakwah kepada Islam, khususnya bagi wanita muslimah. (Sumber Buku : Soal-Jawab Seputar Gerakan Islam, Oleh Abdurrahman Muhammad Khalid, Pustaka Thoriqul Izzah, Januari 1994.)

Read More......

Sistem Islam Memelihara Kaum Minoritas dan Perempuan


Saat ini, demokrasi dianggap sebagai sistem politik terbaik. Salah satu harapan masyarakat terhadap negara demokratis adalah mampu menciptakan kesejahteraan dan keamanan bagi semua orang, termasuk kaum perempuan, anak-anak dan kaum minoritas. Faktanya, sejak berdirinya negara ini hingga sekarang, demokrasi yang diterapkan dan diperjuangkan gagal membawa kesejahteraan dan keamanan bagi kaum perempuan dan kaum minoritas.


Bahkan dunia barat, Amerika dan negara-negara Eropa, yang merupakan pelopor demokrasi, kenyataannya tak pernah menepati apa yang selalu mereka propagandakan tentang demokrasi. Sekarang kita lihat fakta kejahatan demokrasi, yang tak bisa dipungkiri, terhadap kaum minoritas dan kaum perempuan.

Catatan Buruk

A. Diskriminasi terhadap Kaum Minoritas

Amerika, kampium demokrasi, masih mediskriminasikan korban badai Katrina 2005 lalu, yang notabene warga kulit hitam (Al-Wa’ie, Maret 2006). Sementara Prancis telah melarang minoritas muslimah untuk mengenakan hijab, yang merupakan identitas muslimah, masjid-masjid dimonitor, jaringan telepon disadap dan selebaran yang disebarkan umat muslim diawasi (K-Mag, No. 7, April 2006).

Di Thailand, para demonstran minoritas muslim yang memprotes penahanan enam warga yang dituduh menjual senjata kepada pejuang Muslim di Thailand Selatan, dibubarkan dengan cara ditembaki senjata api, gas air mata, dan meriam air. Para demonstran pun dimasukkan ke dalam enam buah truk dengan cara ditumpuk seperti menumpuk barang dagangan. Akibatnya 78 orang tewas sebelum mereka sampai di tempat tujuan. Mereka meninggal karena kesulitan bernapas atau tertindih sampai mati (Swaramuslim, 2004)

Perlakuan Australia terhadap minoritas muslim di negaranya pun setali tiga uang. Louise Pemble, wartawati The Sunday Times, menulis headline berjudul ”How it feels to be an Ooutsider”. Tulisan tersebut merupakan pengalamannya selama menyamar menjadi muslimah dengan mengenakan hijab dan cadar. Dalam headline tersebut ia menceritakan beberapa celetukan yang ia peroleh dari orang-orang tua (elderly people) antara lain ‘’stupid woman” dan puncaknya ketika dia mendapat cemohan ”move away from the bomber.” Saat mengunjungi tempat-tempat umum di Australia, Louise Pemble juga merasakan reaksi masyarakat terlihat berlebihan dalam melihatnya, memandangnya, dan mengamatinya. Seolah-olah, ketika wanita itu lewat, daerah tersebut menjadi ’siaga I’ (Swaramuslim, 2005).

Kenyataan di atas sangat kontras dengan apa yang disebut sebagai instrumen internasional yang menjamin kaum minoritas. Salah satu instrumen itu adalah Deklarasi Hak Orang-Orang yang termasuk Bangsa atau Sukubangsa, Agama, dan Bahasa Minoritas yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 47/135 PBB tahun 1992. Misalnya pada pasal 2 butir 1 menyatakan, “Orang-orang yang termasuk bangsa atau sukubangsa, agama, dan bahasa minoritas (selanjutnya disebut sebagai orang-orang yang termasuk kaum minoritas) mempunyai hak untuk menikmati kebudayaan mereka, untuk memeluk dan menjalankan agama mereka sendiri, dan untuk menggunakan bahasa mereka sendiri, dalam lingkungan sendiri dan umum dengan bebas dan tanpa gangguan atau tanpa segala bentuk diskriminasi”.

B. Nestapa Perempuan

Jika dikatakan demokrasi telah berhasil membawa sejumlah kemajuan bagi perempuan, itu adalah kemajuan semu. Semu, karena di satu sisi mengalami “kemajuan” sementara di sisi lain mengalami kemerosotan. Sebagai contoh Swedia memiliki tingkat keterwakilan politik perempuan paling tinggi, yakni mencapai 40 persen. Hal ini dianggap suatu kemajuan, padahal di sisi lain angka perceraian dan orang tua tunggal di negara tersebut mencapai lebih dari 50 % (Husain Matla, 2007).

Tahun ini, Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tim P2E-LIPI) memperkirakan, akibat naikknya harga BBM jumlah warga miskin Indonesia bertambah dari 37,2 juta menjadi 41,7 juta orang (21,92 persen). Diperkirakan terdapat 100.000 perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan setiap tahunnya, kebanyakan sebagai pekerja seks komersial di Indonesia dan luar negeri.

Dalam laporan tahunan Unicef berjudul Laporan Situasi Anak Dunia 2007, tercatat kehidupan jutaan anak perempuan dan perempuan dewasa dibayangi oleh diskriminasi, ketidakberdayaan dan kemiskinan. Jutaan perempuan di seluruh dunia menjadi sasaran kekerasan fisik dan seksual, dan sedikit peluangnya untuk mendapatkan keadilan.

Sebagai akibat diskriminasi, anak perempuan berpeluang lebih kecil untuk bersekolah, bisa dikatakan satu dari lima anak perempuan yang bersekolah di sekolah dasar di negara berkembang tidak menyelesaikan pendidikannya. Tingkat pendidikan diantara kaum perempuan, menurut laporan ini, berhubungan dengan tingkat kelangsungan hidup dan perkembangan anak yang lebih baik.

Laporan Unicef tersebut mungkin hanya menggambarkan kondisi perempuan di negara berkembang, sekarang kita lihat nasib perempuan di dunia barat. Barat yang selalu menjadi acuan Indonesia berdemokrasi ternyata “mengoleksi” catatan buruk nasib perempuan dan anak-anak.

Sebuah survey yang dilakukan di sembilan negara bagian AS, yang dilakukan selama 5 tahun, menyatakan bahwa 60% pengacara perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan seksual. Pelecehan tersebut dilakukan, sepertiganya oleh kolega, 40% oleh klien, dan 6% oleh hakim. Penelitian yang dilakukan University of Medical Researchers tahun 1998, diketahui bahwa diantara prajurit perempuan pasukan AS dalam perang Vietnam atau perang Teluk, 63% mengalami pelecehan fisik dan seksual selama menjalani tugas kemiliterannya, dan 43% dilaporkan mengalami pemerkosaan atau usaha pemerkosaan.

BBC melaporkan, hampir 25% perempuan di Inggris pernah mengalami kekerasan domestik dalam kehidupannya. Setiap 60 detik, kepolisisn Inggris mendapat panggilan menangani kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan menerima 1300 telepon pengaduan masalah ini setiap harinya. KDRT di Inggris pun telah memakan 2 korban tewas setiap minggunya!

Pemerkosaan terjadi setiap menit di AS dan di Inggris sepertiga perempuan pernah menjadi korban pelecehan seksual pada usia 18 tahun. Jumlah pemerkosaan pun dilaporkan meningkat 500% antara 1996-1997 (Nawaz,2006)).

Fakta yang mengerikan! Apakah hal seperti ini yang ingin ditiru dan dicapai oleh kaum perempuan di Indonesia? Tampaknya berbagai permasalahan perempuan dan anak-anak semakin mengukuhkan kegagalan demokrasi dalam menjamin keadilan, keamanan dan kesejahteraan. Masihkan kita berharap terhadap demokrasi? Sistem yang telah berabad-abad didengungkan memberi sejuta harapan perbaikan, tapi sampai saat ini perbaikan yang diinginkan tak pernah tercapai!

Perempuan dan Minoritas dalam Islam

Bukti demokrasi gagal memelihara perempuan dan kaum minoritas adalah fakta tak terbantahkan. Tentu kondisi menyedihkan dan mengerikan ini harus diubah. Diubah dari sistem demokrasi yang gagal, ke sistem yang secara historis terbukti mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan, termasuk memelihara kaum perempuan dan minoritas. Sistem tersebut adalah sistem pemerintahan Islam.

Jaminan keamanan dan kesejahteraan yang diberikan negara Islam terhadap manusia termasuk kepada kaum minoritas-non muslim diakui oleh Will Durant. Dalam bukunya The Story of Civilization, dia menyatakan pujiannya tentang para pemimpin negara Islam (khalifah) “Para khalifah telah memberikan keamanan pada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannyadan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka”.

Meski demikian, upaya formalisasi syariat Islam selalu dibenturkan pada dua isu utama, perempuan dan kaum minoritas. Penerapan sistem Islam dalam negara dianggap sebagai ancaman bagi kaum perempuan dan kaum minoritas. Moeslim Abdurrahman, aktivis JIL, bahkan mengatakan bahwa korban pertama penerapan syariat Islam adalah kaum perempuan dan korban kedua adalah kaum minoritas.

Benarkah ketika syariat Islam diterapkan kaum perempuan akan “dibelenggu”? Benarkah formalisasi syariat Islam membuat kaum perempuan menjadi warga yang termarjinalkan dan diperlakukan tidak adil? Benarkah pula akan terjadi penindasan dan pemaksaaan pindah agama bagi kaum minoritas non muslim?

Terjaminnya Kaum Minoritas

A. Masa Nabi Muhammad SAW

Pada saat Rasulullah saw. membangun negara Islam (Daulah Islam) di Madinah, keadaan masyarakatnya tidaklah seragam. Madinah saat itu dihuni oleh kaum Muslim, Yahudi, Nashrani, dan juga kaum Musyrik. Meskipun struktur masyarakatanya beragam, namun semua masyarakat dapat hidup berdampingan dengan damai dalam naungan Daulah Islamiyyah dan di bawah otoritas hukum-hukum Islam.

Kelompok-kelompok selain Islam tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam, atau diusir dari Madinah. Bahkan mereka dibiarkan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Hal ini sebagaimana yang telah diterangkan dalam al-Quran, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (TQS. Al Baqarah [2]:256).

Mereka hidup berdampingan satu dengan yang lain tanpa ada intimidasi, diskriminasi dan gangguan. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak yang sama seperti kaum Muslim. Jaminan Negara Islam terhadap non muslim tersebut terlihat jelas dalam Piagam Madinah yang dicetuskan oleh Rasulullah saw. Dalam bagian tengah Piagam Madinah disebutkan sebagai berikut, “Orang mukmin tidak boleh membunuh orang mukmin untuk kepentingan orang kafir, juga tidak boleh menolong orang kafir dalam memusuhi orang mukmin. Janji perlindungan Allah adalah satu. Mukmin yang tertindas dan lemah, akan memperoleh perlindungan hingga menjadi kuat. Sesama mukmin hendaknya saling tolong menolong. Orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami (Muhammad), dimusuhi dan tidak pula dianiaya. Perjanjian damai yang dilakukan oleh orang-orang mukmin haruslah merupakan satu kesepakatan.Tidak dibenar-benarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian dengan meninggalkan yang lain dalam keadaan perang di jalan Allah, kecuali telah disepakati dan diterima bersama”.

Kaum Yahudi yang disebut dalam piagam ini adalah orang-orang Yahudi yang ingin menjadi bagian dari penduduk negara Islam. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak mu’amalah yang sama sebagaimana kaum Muslim. Sebab, mereka merupakan bagian dari rakyat negara Islam yang berhak mendapatkan perlindungan dan dipenuhi haknya. Dalam piagam Madinah tersebut disebutkan nama-nama kabilah Yahudi yang mengikat perjanjian dengan Rasulullah saw (menjadi bagian Daulah Islamiyyah), yakni Yahudi Bani ‘Auf, Yahudi Bani Najjar, dan sebagainya.

Setelah kekuasaan Daulah Islamiyyah meluas di jazirah Arab, Nabi saw memberikan perlindungan atas jiwa, agama, dan harta penduduk Aylah, Azrah, Jarba’, dan Maqna, yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani. Nabi saw. juga memberikan perlindungan , baik harta, jiwa, dan agama penduduk Khaibar yang mayoritasnya beragama Yahudi. Beliau juga memberikan perlindungan kepada penduduk Juhainah, Bani Dlamrah, Asyja’, Najran, Muzainah, Aslam, Juza’ah, Jidzaam, Qadla’ah, Jarsy, orang-orang Kristen yang ada di Bahrain, Bani Mudrik, dan Ri’asy, dan masih banyak lagi.

Begitulah, non muslim yang tinggal di dalam Daulah Islam atau disebut kafir dzimmiy tidak dipaksa meninggalkan agama mereka, akan tetapi mereka diwajibkan membayar jizyah saja. Mereka tidak dipungut biaya-biaya lain, kecuali jika hal itu merupakan syarat yang disebut dalam perjanjian. Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata, “Rasulullah saw pernah menulis surat kepada penduduk Yaman,”Siapa saja yang tetap memeluk agama Nashrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya, mereka hanya wajib membayar jizyah.”(HR. Ibnu ‘Ubaid)

Cuplikan fakta sejarah perlakuan Daulah Islamiyyah terhadap kaum minoritas (non muslim) tersebut cukup menjadi bukti bahwa penerapan Islam dalam negara bukanlah ancaman bagi kaum non muslim. Islam bahkan telah mengakui dan mengakomodasi pluralitas pada saat bangsa Romawi maupun Yunani tidak mengakuinya.

Pengakuan terhadap pluralitas inipun telah diterangkan oleh al-Quran di dalam ayat-ayatnya. Sebagaimana yang terdapat dalam ayat, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah.“[al-Hujurat:13].

Kemudian pada ayat, “Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar. Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan”. (al-Hajj:67-68)

B. Masa Kekhalifahan Islam

Jaminan keamanan, keselamatan dan “kebebasan” dalam beribadah sesuai keyakinan yang diberikan kapada kaum minoritas yang dilakukan semasa Rasulullah saw, tetap dilaksaanakan sepeninggal Beliau saw. Para khalifah sebagai penerus pemimpin Daulah Islamiyyah tidak pernah meninggalkan apa yang telah dicontohkan Rasulullah saw. Dalam memperlakukan kaum non muslim. Bahkan hingga kekhalifahan terakhirpun, perlakuan tersebut tidak berubah. Padahal saat itu wilayah negara Islam telah mencapai 2/3 dunia, dimana perbedaan agama, keyakinan, ras, suku bangsa dan budaya adalah sesuatu yang tak dapat dihindari.

Daulah Islam telah memberikan keamanan, keselamatan dan kesejateraan kepada penduduknya baik muslim maupun non muslim. Karen Amstrong dalam bukunya Holy War menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Umar bin Khathathab kira-kira sebagai berikut, “Pada tahun 637 M, Umar bin Khaththab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar dibawa segera ke Haram al-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Mohammad saw melakukan perjalanan malamnya. Sang uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berfikir, ini adalah hari penaklukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel. Pastilah, Umar ra adalah sang Anti Kristus yang akan melakukan pembantian dan menandai datangnya Hari Kiamat. Namun, kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti.” Setelah itu, penduduk Palestina hidup damai, tentram, tidak ada permusuhan dan pertikaian, meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda, Islam, Kristen, dan Yahudi.

Apa yang dilakukan Umar bin Khaththab jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi. Ketika mereka berhasil menaklukkan Palestina, kengerian, teror, dan pembantaian pun disebarkan hampir ke seluruh kota. Selama dua hari setelah penaklukkan, 40.000 kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib berjalan di jalan-jalan Palestina dengan menyeberangi lautan darah. Keadilan, persatuan, dan perdamaian tiga penganut agama besar yang diciptakan sejak tahun 1837 oleh Umar bin Khaththab hancur berkeping-keping.

Meskipun demikian, ketika Shalahuddin al-Ayyubiy berhasil membebaskan kota Quds pada tahun 1187 Masehi, beliau tidak melakukan balas dendam dan kebiadaban yang serupa. Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua kalinya atas Yerusalem ini sebagai berikut ini, “Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya, dan menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Dia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang Al-Qur’an anjurkan (16:127), dan sekarang, karena permusuhan dihentikan, ia menghentikan pembunuhan (2:193-194)”.

Di Andalusia, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan selama berabad-abad, di bawah naungan kekuasaan Islam. Tidak ada pemaksaan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk masuk ke dalam agama Islam. Sayangnya, peradaban yang inklusive dan agung ini berakhir di bawah mahkamah inkuisisi kaum Kristen ortodoks. Orang-orang Yahudi dan Muslim dipaksa masuk agama Kristen. Jika menolak mereka diusir dari Andalusia, atau dibantai secara kejam dalam peradilan inkuisisi. Pada tahun 1519 Masehi, pemerintahan Islam memberikan sertifikat tanah kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia (Syamsudin Ramadhan, 2008).

Perlakuan kekhilafahan terakhir, kekhilafahan Utsmaniyah, terhadap kaum non muslim dilukiskan sejarahwan Inggris, Arnold J. Toynbee, dalam bukunya Preaching of Islam. Dia menyatakan ”Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang meareka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.

Arnold juga menjelaskan, “Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman –selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta Negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua Negara tersebut, juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum Protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintahan Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam Islam…kaum Cossak yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh gereja kuno dan gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”

Demikianlah sebagian catatan sejarah bagaimana Daulah Islamiyyah memperlakukan warganya yang non muslim. Tuduhan bahwa formalisasi Islam dalam negara akan menjadi “tungku peleburan” agama, sehingga semua orang dipaksa masuk Islam adalah sebuah asumsi tanpa dasar dan tidak sesuai fakta. Islam juga tidak akan melakukan diskriminasi, intimidasi dan pemaksaan kepada non muslim.

Sebagai warga negara, kaum minoritas mendapatkan jaminan keamanan, keadilan hukum dan kesejahteraan yang sama dengan warga yang muslim. Mereka dibiarkan memeluk agama dan keyakinannya masing-masing. Islam juga memberikan kebebasan dan perlindungan terhadap ritual-ritual kegamaan yang mereka lakukan.

Islam Memuliakan Perempuan

A. Kedudukan Perempuan dalam Islam

Sebelum Islam datang, bangsa Arab memperlakukan perempuan sebagai manusia yang bernilai rendah. Kaum perempuan saat itu dianggap sebagai harta benda yang bisa diwarisi. Jika seorang suami meninggal maka walinya berhak terhadap istrinya. Wali tersebut berhak menikahi si istri tanpa mahar, atau menikahkannya dengan lelaki lain dan maharnya diambil oleh si wali, atau bahkan menghalang-halanginya untuk menikah lagi.

Bayi perempuan dianggap sebagai aib, sehingga orang Arab Jahiliyyah mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir. Namun Rasulullah saw. datang membawa risalah Islam untuk melenyapkan semua bentuk kezaliman tersebut dan mengembalikan hak-hak kaum perempuan.

Tindakan yang memeras dan mengebiri hak-hak kaum perempuan, semua dihapus. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam QS. an-Nisa’ ayat 19:

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Rasulullah saw. juga bersabda:

“Barangsiapa yang memiliki anak perempuan, dan ia tidak menguburnya hidup-hidup, tidak menghinanya, dan tidak cenderung kepada nank laki-lakinya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”

Islam juga menetapkan bagaimana seorang suami harus memperlakukan istrinya, Rasulullah saw. bersabda:

“Wahai manusia, memang benar kalian memiliki hak atas istri kalian, tapi mereka juga punya hak atas kalian. Ingatlah, bahwa kalian telah mengambil mereka sebagai istri atas kepercayaan dan izin Allah. Jika mereka taat, maka mereka berhak diberi nafkah dan pakaian serta kebaikan. Baik-baiklah kepada mereka, karena mereka adalah pasangan dan penolong kalian.”

Penghargaan tinggi atas tugas-tugas perempuan sebagai ibu dan kepala rumah tangga juga diberikan Islam. Nabi saw. bersabda:

“Pada masa kehamilan hingga persalinan, dan hingga berakhirnya maasa menyusui, seorang perempuan mendapatkan pahala yang setara dengan pahalanya orang yang menjaga perbatasan Islam.” (HR. Thabrani)

Nabi saw. juga pernah bersabda:

“Ketika seorang perempuan menyusui anaknya, untuk setiap tegukan itu ia akan mendapatkan pahala seolah-olah ia baru dilahirkan sebagai seorang manusia, dan ketika ia menyapih anaknya, para malaikat menepuk punggungnya sambil berkata, ‘Selamat! Semua dosa-dosamu yang telah lalu telah diampuni, kini semuanya berjalan dari awal lagi’.” (Raiyadhu as-Salihin)

B. Masalah Kemiskinan, Keamanan, Pendidikan dan Kesehatan

Dalam Daulah Islamiyyah, negara menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok setiap individu masyarakat secara keseluruhan. Negara juga memberikan jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.

Kebutuhan pokok, antara lain pangan, sandang dan papan (rumah), pendidikan dan kesehatan semuanya dijamin negara. Rasullah saw. bersabda:

“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Kebutuhan Pangan, Sandang, dan Papan

Negara memerintahkan kepada setiap kepala keluarga bekerja mencari nafkah. (Lihat: QS al-Mulk: [67] 15; QS al-Jumu‘ah [62]: 10). Hal ini karena kepala keluarga wajib mencari nafkah untuk keluarganya. Kaum perempuan tidak wajib mencari nafkah. Semua kebutuhan anak-anak termasuk anak perempuan ditanggung oleh ayah atau walinya. Sedangkan kebutuhan istri ditanggung oleh suaminya. Begitupula seorang anak laki-laki harus menanggung kebutuhan ibunya jika ayahnya telah meninggal atau sudah tidak mampu bekerja.

Negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan pekerjaan agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan. Sehingga angka pengangguran dapat dientaskan, karena hal ini merupakan salah satu kewajiban negara Khilafah.

Jika kepala keluarga ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka negara akan memerintahkan setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu.

Negara juga akan mewajibkan tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan, dan dengan segera negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan. Orang yang tidak mampu lagi bekerja dan tidak mempunyai sanak saudara yang menanggungnya, maka kebutuhannya akan ditanggung negara melalui Baitul Mal (Kas Negara).

Jika ternyata kas negara tengah kosong atau dilanda krisis sehingga tidak mampu memnuhinya, maka kewajiban tersebut beralih kepada seluruh kaum Muslimin. Kaum Muslim dapat dikenai pajak (dharîbah). Pajak hanya diambil dari kaum Muslim yang kaya dan tidak boleh diambil dari orang non-Muslim meskipun ia kaya.

Rasulullah saw. pernah mengambil sebagian harta milik orang-orang kaya Bani Nadhir dan membagi-bagikannya kepada sahabat Muhajirin yang fakir. Itu dilaksanakan oleh beliau sebagai realisasi pengamalan perintah Allah Swt.

Pada masa kekhalifahan, Umar bin al-Khaththab pernah membangun suatu rumah yang diberi nama “Dâr ad-Daqîq” (Rumah Tepung). Di sana tersedia berbagai jenis tepung, korma, dan barang-barang kebutuhan lainnya, yang ditujukan untuk membantu para musafir memenuhi kebutuhannya. Rumah itu dibangun di jalan antara Makkah dan Syam, di tempat yang strategis dan mudah dicapai oleh para musafir. Rumah yang sama, juga dibangun di jalan di antara Syam dan Hijaz.

Diceritakan oleh Imam Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharâj, bahwa Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab r.a., pernah melihat seorang Yahudi tua di suatu pintu. Beliau bertanya, “Apakah ada yang bisa saya bantu?” Orang Yahudi itu menjawab, bahwa ia sedang dalam keadaan susah dan membutuhkan makanan, sementara ia harus membayar jizyah. “Usiaku sudah lanjut,” katanya. Amirul Mukminin berkata, “Kalau begitu keadaanmu, alangkah tidak adilnya perlakuan kami. Karena kami mengambil sesuatu darimu di saat mudamu dan kami biarkan kamu di saat tuamu.”

Setelah kejadian itu, Khalifah Umar bin al-Khaththab lalu membebaskan pembayaran jizyah Yahudi tersebut, dan memerintahkan Baitul Mal menanggung beban nafkahnya beserta seluruh orang yang menjadi tanggungannya.

Demikianlah, peran besar negara untuk menciptakan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, dan papan warga negaranya, baik perempuan, laki-laki, maupun non-muslim. Tentunya dengan cara ini masalah kemiskinan rakyat di Daulah Islamiyyah akan teratasi. Cara yang agung dan mulia ini, juga akan mencegah setiap individu masyarakat—yang sedang dililit kesulitan hidup—memenuhi kebutuhan mereka dengan cara menghinakan diri (meminta-minta).

Masalah Keamanan, Pendidikan, dan Kesehatan

Pemenuhan kebutuhan pokok berupa keamanan, pendidikan, dan kesehatan dipenuhi negara secara langsung kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri‘âyah asy-syu’ûn) dan kemaslahatan hidup terpenting. Negara (Khilafah Islamiyah) berkewajiban mewujudkan pemenuhannya bagi seluruh rakyat. Seluruh biaya yang diperlukan ditanggung oleh Baitul Mal.

Keamanan dan kepastian hukum setiap anggota masyarakat dijamin dengan jalan menerapkan hudûd (qishâsh, potong tangan bagi pencuri, diyat [denda], dsb). yang tegas kepada siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa, darah, dan harta orang lain. Dengan jujur, Noah Feldman, seorang professor hukum dari Havard University, mengakui perlindungan negara Khilafah kepada penduduknya termasuk kaum perempuan. Dia mengatakan, “Ketika Inggris menerapkan hukum mereka pada umat Muslim sebagai ganti syariah, sebagaimana yang telah mereka lakukan di beberapa koloni, hasilnya adalah peniadaan hak milik kaum perempuan yang selalu dijamin oleh hukum Islam-kemajuan yang sulit ditandingi dalam kesetaraan gender.”

Profesor Feldman melanjutkan, “Syariah juga melarang penyuapan atau dukungan khusus dalam pengadilan. Ia menuntut perlakuan sama antara si kaya dan miskin. Ia mengutuk pembunuhan-pembunuhan vigilante-style honour yang masih terjadi di beberapa negara Timur Tengah. Ia juga melindungi, hak milik semua orang-termasuk perempuan.” (Kantor Berita Common Ground, 2008)

Dalam hal kesehatan, negara Khilafah juga memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh warganya termasuk kaum perempuan. Diriwayatkan bahwa Mauquqis, Raja Mesir, pernah menghadiahkan dokternya untuk Rasulullah saw. Oleh Rasulullah saw., dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum Muslim dan seluruh rakyat, yang bertugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit. Tindakan Rasulullah saw. ini menunjukkan bahwa hadiah semacam itu bukanlah untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk kaum Muslim atau untuk negara.

Rasulullah saw. juga pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Mal. Pernah serombongan orang berjumlah 8 orang dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah saw. di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah saw. memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum Muslim milik Baitul Mal, di sebelah Quba’, di tempat yang bernama Zhi Jadr. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali.

Dalam bidang pendidikan, Daulah Islamiyyah juga memberikan jaminan bagi seluruh warga untuk mendapatkannya. Rasulullah SAW pernah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan perang Badar, bahwa para tawanan itu bisa bebas dengan mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis.

Dengan tindakan itu, yakni membebankan pembebasan tawanan itu ke baitul mal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut mengajarkan kepandaian baca-tulis, berarti Rasulullah SAW telah menjadikan biaya pendidikan setara dengan barang tebusan. Artinya, Rasul memberi upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal.

Al Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, menjelaskan bahwa negara memberikan jaminan pendidikan secara cuma-cuma (bebas biaya) dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban yang harus dipikul negara serta diambil dari kas Baitul Mal.

Menurut Al-Badri (1990), Ad Damsyiqy menceritakan suatu kisah dari Al Wadliyah bin atha’, yang mengatakan bahwa ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di Madinah, Khalifah Umar Ibnu Al Khathab memberi gaji sebesar 15 dinar setiap bulan (satu dinar = 4,25 gram emas).

Al-Badri juga menceritakan bahwa Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam, memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan agar ibadah dan mu’amalah kaum muslimin dapat diterima (sah). Ia menjelaskan bahwa seorang imam atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sampai pada ungkapannya:

“Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.”

Pada masa kekhilafahan Turki Ustmani, dibangun sekolah-sekolah yang untuk laki-laki dan perempuan. Dalam satu daerah kekuasaannya, negara membangun sebuah perguruan tinggi, dua buah sekolah untuk pelajar laki-laki, sebuah sekolah untuk pelajar perempuan dan sebuah sekolah untuk anak-anak. Di semua sekolah tersebut, 450
orang pelajar lelaki dan 300 orang pelajar perempuan mendapat pendidikan yang sama. (Antalya Golden Orange Art & Cultural Foundation, 1997).

Kebijakan yang menjamin terlaksananya pendidikan ini diperuntukan bagi semua warga Negara Khilafah, baik laki-laki, perempuan maupun non muslim. Perempuan dan laki-laki muslim mempunyai kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu. Permasalahan rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan saat ini tentu tidak akan ditemui di masa kekhilafahan.

Sekarang pertanyaanya adalah apakah kita mau hidup dalam naungan khilafah dengan segala kemuliaannya terhadap kaum minoritas dan kaum perempuan? Atau memilih hidup dalam alam demokrasi dengan segala permasalahannya? Wallahu ‘alam bi ash showab. (*)

Read More......

Sejak Obama Menang Pemilu, Kasus-Kasus Rasial Meningkat Tajam


Kemenangan Barack Obama dalam pemilu presiden AS, tidak serta merta menghapus sikap rasis yang sepertinya sudah mengurat-akar di kalangan warga kulit putih AS. Aneh sebenarnya, di negara yang menganut prinsip demokrasi seperti AS, sikap rasis masyarakatnya ternyata masih begitu kental dan ini terlihat dari laporan lembaga Southern Poverty Law Center (SPLC)


Menurut lembaga itu, telah terjadi lebih dari 200 kasus bernuansa rasial di negara-negara bagian AS di selatan sejak Obama dinyatakan memenangkan pemilu presiden AS. Pada Christian Science Monitor, Mark Potok dari SPLC mengatakan, sulit dibantah telah terjadi serangan balasan yang dilakukan populasi warga kulit putih atas kemenangan Obama.

“Banyak warga kulit putih yang merasa bahwa negara yang didirikan nenek moyang mereka sudah dicuri. Di beberapa tempat, kemarahan warga kulit putih atas kemenangan Obama jelas terlihat dan situasi ini bisa memburuk seiring dengan makin banyaknya orang yang menjadi pengangguran,” kata Potok.

Dua hari setelah hari pemilu misalnya, terjadi peristiwa pembakaran salib yang dilakukan oleh pasangan kulit putih di Apolacon Township, Pennsylvania. Di Raleigh, North Caroline, petugas intelejen AS menginterogasi empat mahasiswa yang melakukan aksi corat coret di trotoar. Di Georgia, sekelompok siswa SMU memposting komentar-komentar buruk tertang Obama di situs internet. Di Oklahoma, tersebar selebaran dan rekaman propaganda anti-Obama yang diselipkan di koran-koran dan kotak-kotak surat warga. Dan seminggu sebelum pelaksanaan pemilu, dua warga Tennessee ditangkap karena merencanakan penembakan dan pembunuhan 102 orang negro Amerika, termasuk Obama.

Kelompok rasis League of the South lewat situsnya menyerukan agar orang kulit putih di negara-negara bagian selatan menarik diri. Tokoh rasis situs tersebut, Michael Tuggle mengklaim pengunjung situsnya meningkat dari 50.000 pengunjung sebulan menjadi 300.000 setelah Obama menang pemilu, belum lagi banyaknya telepon yang masuk ke organisasi tersebut yang mengungkapkan kemarahannya atas kemenangan Obama.

“Mereka merasa bahwa sesuatu yang anek dan radikal telah mengambialih negara mereka,” kata Tuggle.

Pakar politik di Universitas Emory, Atlanta, Merle Black mengatakan, telah terjadi polarisasi rasial yang luar biasa dalam pemilu presiden kemarin, terutama di negara-negara bagian Mississipi, Lousiana dan Alabama. Di negara-negara bagian di wilayah selatan, hanya 20 persen pemilih dari kalangan kulit putih yang memberikan suaranya pada Obama.

“Sementara warga kulit hitam AS yakin bahwa Obama akan mewakili kepentingan dan pandangan-pandangan mereka yang tidak pernah terjadi selama ini, di Selatan, warga kulit putih merasakan hal sebaliknya,” jelas Black. (eramuslim.com)

Read More......

Identitas tamuku yang online

IP